Sabtu, 20 Oktober 2012

Artikel tentang Reinkarnasi dalam Al Qur’an

Artikel tentang Reinkarnasi dalam Al Qur’an dari Ahmad Chodjim, pengarang buku Syech Siti jenar.
Kata “reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis.Kata Latin carnis berarti daging. Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi disebut sebagai reborn atau reembodiment. Bagi agama-agama di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.
Bagaimana dengan reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5-4 sebelum Masehi, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana.

Tujuan Hidup dan Mati Menurut Ayat-ayat Alquran

Sebagai seorang muslim tentu saya akan menguraikan reinkarnasi ini berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Hadis. Dan, dalil-dalil ini tergolong ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat yang perlu dipahami maknanya dengan seksama. Oleh kalangan awam ayat-ayat ini biasanya dilepas begitu saja, dan tidak ada usaha memahaminya. 
Padahal, Alquran telah memerintahkan pembacanya untuk menggunakan akal atau pikiran untuk dapat mengerti makna yang tersembunyi dibalik makna literalnya.
 

Marilah kita simak ayat QS al-Mulk [67]: 2.
Alladzî khalaqa al-mawta wa al-hayacta li yabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala wa huwa al-’azaa al-ghafa»r.

Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu, dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu Maha Perkasa dan Maha Melindungi.

Pertama, mati dan hidup itu diciptakan. Hal semacam ini sering luput dari pemahaman. Dikiranya, yang diciptakan Tuhan itu hanya hidup. Mati ada di dalam wilayah ciptaan Tuhan. Demikian pula hidup. Tentu saja yang dimaksud disini bukanlah “hidup sejati”. Tapi, hidup di dalam jasad. Jadi,hidup didalam jasad, dan yang mati juga jasad semua itu adalah ciptaan Tuhan.

Jasad atau raga hanyalah pakaian bagi “jiwa” soul. Jika raga tidak bisa dipakai alias tidak berfungsi, maka jiwa akan meninggalkannya. Tetapi jika jiwa hanya sekadar meninggalkan jasad, belum tentu jasad mengalami kematian. Dalam peristiwa OOBE (Out Of the Body Experience), jiwa dapat keluar tubuh dan kembali lagi. Tidur nyenyak pun dapat membuat jiwa ke luar dari tubuh untuk beranjang sana-sini. Hal semacam ini dijelaskan dalam  
QS al-Zumar [39]: 42, sebagai berikut 
Allah yang memegang jiwa manusia ketika matinya dan di waktu tidur bagi yang belum mati. Dan, ditahan-Nya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya, sedangkan yang belum mati dilepaskan hingga masa ajal tiba. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang yang berpikir.

Selama garis kematian belum tiba, jiwa dapat bepergian kesana-kemari. Menurut mistik Timur, jiwa dan raga ini ada tali pengikat yang disebut benang perak atau silver cord. Selama benang ini tidak putus, maka orang yang mengalami OOBE tidak akan tertimpa kematian.

Bila dilihat dari sudut energi, orang yang mengalami mati itu telah kehilangan energi prana, Elan vital, atau premananya (Jawa). Baik benang perak atau premana tidak perlu dipertentangkan. Keduanya merupakan elemen kehidupan. Jika salah satunya rusak, orangnya akan mati. Artinya, bilamana elemen-elemen yang membangun hidup itu rusak alias tidak berfungsi, jiwa tak akan dapat beroperasi lagi. Jiwa akan meninggalkan tubuh yang
demikian itu.

Kedua, penciptaan mati dan hidup itu dimaksudkan untuk mendidik dan melatih manusia agar manusia dapat beramal kebajikan mengisi kehidupanhnya. Jadi, jelas sekali bahwa proses mati-hidup-mati-hidup di dunia ini dimaksudkan untuk melatih manusia. Dunia ini sekolahan. Dunia adalah ladang bagi kehidupan berikutnya (Hadis). Siapa yang menanam, ia pula yang mengetam. Dan, dalam QS 51:56 disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia itu adalah ma’rifat Allah, mengenal Allah. Untuk apa? Agar manusia dapat kembali ke asalnya, yaitu kembali kepada Allah.
Seringkali balasan amal itu dipahami sebagai balasan atau imbalan yang akan diberikan kepada manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di alam akhirat setelah hancur-leburnya bumi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan tentang cepatnya perhitungan Tuhan terhadap para hamban-Nya. Lebih dari 10 ayat yang menyatakan bahwa hisab Tuhan atau perhitungan amal baik dan buruk manusia itu amat cepat. Kalau hukuman
itu ditangguhkan hingga hari kiamat atau setelah hancurnya alam semesta, maka ada orang yang sudah jutaan tahun dalam masa menunggu, dan bagi yang hidup menjelang hancurnya alam semesta malah akan menerimanya lebih cepat. Tentu, hal ini akan bertentangan dengan kasih sayang Tuhan, sekaligus
bertentangan dengan keadilan-Nya.

Balasan dan imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu amat cepat segera. Dan, perhitungan itu tidak seperti nilai rapor. Apabila nilai rapor sudah diperhitungkan nilai plus-minusnya, sehingga seseorang tinggal terima jadi, apakah ia naik kelas atau tinggal kelas; tidak demikian dengan perhitungan Tuhan. Dalam QS al-Zalzalah [99]:7-8 disebutkan sebagai berikut:

Faman ya’mal mitsqâla dzarrah khayran yarâh.
Wa man ya’mal mitsqâla dzarrah syarran yarâh.

Barang siapa yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya. Dan, barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itu pun akan dilihatnya.

Jadi, tidak ada perhitungan dengan sistem yang dapat mencapai angka 6 atau lebih akan naik kelas atau akan tinggal di surga, sementara yang tidak dapat angka indeks prestasi itu akan tinggal di neraka. Tidak !!!. Tidak demikian ! Bahkan bagi yang beramal keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula.

Balasan Tuhan itu amat cepat. Dalam bahasa Arab disebut sarî’ al-hisâb. Balasan yang cepat artinya suatu balasan yang dapat diamati di dunia ini. Dan, sistem perhitungannya pun sebagaimana dikemukakan pada ayat-ayat di Surah al-Zalzalah tersebut. Itu artinya balasan atau imbalan itu berlangsung di dunia ini. Caranya melalui kelahiran kembali. Hal ini disebut dalam QS 6:94, bahwa manusia datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya. Dan, mengenai penciptaan pada kali yang lain ini akan jelas sekali diterangkan dalam QS 29: 19-21 sebagai berikut :

Dan, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.

Katakanlah: “Berjalanlah di bumi, maka gunakan nalarmu untuk memahami bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Allah meng-azab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang menghendakinya. Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembali-kan.


Perhatikan dengan seksama ayat tersebut. Pada ayat yang pertama, isi perintah-Nya adalah memperhatikan cara Allah menciptakan manusia. Ya, yang perlu diperhatikan adalah cara Allah menciptakan manusia pada mulanya. Bagaimana? Ternyata, caranya melalui pertemuan sel telur pada wanita dan sel sperma dari pria. Kemudian, keduanya bersatu, membelah diri, dan akhirnya tumbuh menjadi janin di dalam perut ibu. Lalu, lahir ke bumi sesuai dengan garis nasibnya. Ada yang dilahirkan di tengah orang berada, dan ada yang dilahirkan melalui keluarga miskin papa.

Setelah paham tentang penciptaan pada pertamanya, maka kita diminta memperhatikan caranya Allah mengulangi penciptaan itu. Kita diperintah untuk memperhatikan pada penciptaan ulangan, agar kita memahami, kita paham benar-benar bagaimana proses penciptaan manusia.

Ayat yang kedua, memerintah kita untuk menjelajah bumi ini. Kita diperintah untuk melakukan study tour, atau widya wisata. Untuk apa? Untuk mengerti tentang bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali lainnya. Coba renungkan secara mendalam ! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah dunia ini hancur lebur, yahh... akan menjadi perintah yang salah. Mengapa? Karena penyelidikan penciptaan itu adanya di bumi ini, baik penciptaan pada mulanya maupun pada kali yang lain. Itu artinya kebangkitan itu hanya terjadi di bumi ini. Yaitu, berupa kelahiran kembali. Ya, lahir kembali adalah penciptaan pada kali yang lain. Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang itu.

Nah, pada penciptaan kali yang lain itulah seorang manusia yang dilahirkan menerima karmanya (azab) atau mendapat rahmat dari sebab akibat pada kehidupan sebelumnya. Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya. Dalam QS 3:117 disebutkan bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri mereka sendiri. Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia sendirilah yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”

Jelas sudah, bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia. Allah hanyalah menjalankan roda hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Sedangkan manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Karena hukum alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu atas Kehendak-Nya. Sayang sekali, dalam berbagai terjemahan, kata man yasya’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Allah menghendaki. Tentu saja terjemahan demikian melanggar pernyataan Allah bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun.

Apabila kita memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikit pun, lalu siapa yang membuat ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk? Lalu, mengapa ada orang yang mulus hidupnya dan ada yang tidak luput dari bencana? Apa ada garis tangan seseorang?

Jawabnya, semua itu akibat ulah dan perbuatan orang yang tertimpa bencana itu sendiri. Kalau seseorang bernasib baik maka itu akibat amal kebajikan orang itu sendiri. Amalan kapan? Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan yang lampau. Jadi, takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh seseorang pada masa lampaunya. Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman azali, maka itu artinya Tuhan telah
berbuat zalim bagi sebagian hamba-Nya. Jika sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal, Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia. Maka, jelas Tuhan tidak menetapkan takdir sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam hingga sekarang ini. Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta. Tapi kita sekarang ini adalah manusia yang telah lahir beberapa kali, bahkan ratusan atau bahkan ribuan kali.

Mengenai petaka atau bencana yang menimpa manusia di bumi ini, dapat dirujuk pada ayat-ayat berikut. Perhatikan dengan seksama dua ayat di bawah ini.

"Dan, musibah apa pun yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh tindakanmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar kesalahanmu."
"Dan, kalian tidak dapat melepaskan diri dari bumi ini. Bagimu, tiada pelindung dan penolong selain Allah. (QS 42: 30-31)

Apa saja jenis musibah atau bencana yang menimpa seseorang, ternyata itu akibat perbuatan tangannya sendiri. Bukan oleh orang lain. Bukan oleh Tuhan. Bukan oleh setan dan jin. Ternyata semua itu disebabkan oleh ulah yang tertimpa musibah itu. Termasuk kalau ada bayi yang dilahirkan cacat. Itu disebabkan oleh perbuatan jiwa si bayi tersebut. Banyak orang Islam yang tidak memahami tentang kelahiran kembali. Atau, reinkarnasi. Sehingga, kalau ada bayi cacat maka itu dianggap oleh kondisi kesehatan orangtuanya. Misalnya, ada kerusakan genetis. Penyakit dalam kandungan. Oleh sebab-sebab lain. Atau, karena dalam peperangan si bayi terkena peluru nyasar sehingga meski terselamatkan ia kehilangan anggota badannya. Umumnya orang tidak mengerti bahwa itu disebabkan oleh hutang-piutang, kesalahan atau karma pada masa di kehidupan sebelumnya.

Memang, ada proses karma. Pertama si orangtua mempunyai karma negatif, atau karma buruk. Sehingga ketika dia mengandung, janin yang dikandungnya itu cacat. Jadi, yang cacat itu raga si bayi. Sedangkan raga itu sendiri ya tidak ada maknanya. Nah, ketika raga bayi itu cacat, maka jiwa yang dimasukkan ke dalam raga yang cacat itu adalah jiwa yang hutang karma. Jiwa yang pada kehidupan masa lalunya banyak berbuat keburukan. Dan, bayi yang dilahirkan cacat itu merupakan kaitan karma orangtua dan bayi tersebut. Sama-sama punya karma buruk pada kehidupan masa lalunya. Meskipun hal ini tidak berarti ada kaitan karma buruk antara orangtua dan si bayi pada kehidupan lalunya.

Kembali kepada ayat di atas. Disebutkan bahwa Tuhan mengampuni sebagian besar kesalahan manusia. Apa kaitannya dengan reinkarnasi? 
Jika Tuhan tidak mengampuni sebagian besar kesalahan manusia, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dalam hidupnya. Bayangkan, jika hutang seratus unit harus dibayar 100 unit; apa yang terjadi? akibatnyaTak ada perubahan di dalam kehidupan manusia. Tuhan itu Maha Pemaaf. Sehingga, Tuhan tak akan mewujudkan balasan lebih dari pada keburukan yang pernah dibuat hamba-Nya. Tuhan bukanlah tukang balas. Namun, kita pun harus paham bahwa mekanisme sebab-akibat itu merupakan ketetapan-Nya. 

Dalam bahasa agama, cara kerja alam raya dalam kaitannya dengan sebab dan akibat disebut pemberian pahala untuk kebaikan dan pembalasan atau azab bagi kejahatan. Karena rahman dan rahim-Nya, kebaikan akan mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tapi keburukan hanya mengakibat-kan keburukan yang setara atau kurang. Dalam bahasa psikologis alam raya itu bersifat memaafkan. Hal semacam inilah yang disebut dalam Alquran sebagai kebajikan Tuhan. Dia memaafkan sebagian besar kesalahan yang pernah dilakukan
manusia.

Pada QS 42: 31, terdapat peringatan dari Tuhan. Apa isinya? Secara normal, manusia tidak akan dapat meninggalkan bumi ini. Salah satu unsur pembentuk fisik manusia adalah bumi. Maka, secara alami manusia tertarik oleh keindahan bumi. Dan, gaya tarik bumi terhadap unsur-unsur fisik manusia, yaitu bumi, air, api dan udara, sangat kuat. Sehingga manusia cenderung untuk kembali hidup di bumi. Hal semacam ini dikabarkan dalam QS 7:25, bahwa manusia dihidupkan oleh Tuhan di bumi, dimatikan di bumi dan dibangkitkan di bumi juga. Dan, jikalau manusia hanya mengikuti hukum alam, tidak ada aksi dari manusianya sendiri untuk melepaskan diri dari bumi, maka selamanya ia akan tinggal di bumi. Sehingga, kenikmatan surga pun sebatas kenikmatan yang tersedia di bumi ini. Maka, pada penutup ayat 31 disebutkan bahwa bagi manusia tak ada pelindung dan penolongnya selain Allah. Dengan kata lain, pelindung dan penolong manusia itu hanyalah Allah!

Kata “Allah” dalam Alquran adalah sebutan bagi Tuhan semesta alam. Maka, bagi yang bukan orang Islam tidak perlu rancu terhadap sebutan Tuhan. Bahkan di Alquran sendiri Tuhan dapat disebut berdasarkan Nama-nama baik-Nya (QS 17: 110). Bagi khazanah “New Age”, Tuhan disebut sebagai “Sang Maha Diri”, the Absolute Reality atau Absolute Self. Sedang-kan diri manusia ya “sang diri” atau diri sejati saja. Maka, tujuan hidup manusia adalah kembalinya “sang diri” kepada “Sang Maha Diri”.

Perjalanan sang diri kepada Tuhannya dalam hitungan waktu fisik amatlah panjang. Manusia yang sudah terkungkung oleh ruang-waktu, harus menempuhnya dalam hitungan jutaan tahun bumi. Jika satu generasi perlu hadir selama 50-100 tahun, maka perlu puluhan hingga ribuan kali manusia dapat menyempurnakan dirinya. Dengan kata lain, untuk dapat kembali ke alam kelanggengan atau paling tidak keluar dari bumi manusia perlu
dilahir-kan berkali-kali. Manusia perlu mengikuti kala-cakra, atau putaran roda kehidupan di bumi.

Untuk kembali kepada-Nya, ya hanya dengan cara berlindung kepda-Nya semata. Jika kita masih berlindung kepada yang lain, kepada selain-Nya yang notabene hamba-Nya, maka kita pasti menderita di bumi ini. Makanya,
semua agama yang ada memerintahkan manusia untuk berlindung dan mohon pertolongan kepada-Nya semata. Inilah yang disebut tauhid dalam agama Islam. Meng-Esa-kan Tuhan


Sumber: http://rasamulya.wordpress.com/2007/11/23/artikel-tentang-reinkarnasi-dalam-al-quran-dari-ahmad-chodjim-pengarang-bukusyech-siti-jenar/

Kamis, 11 Oktober 2012

LATIHAN MEMBUKA GULUNGAN KUNDALINI.

 
Bagi Anda yang telah mendalami Reiki level 2 diharapkan kundalini Anda sudah bangkit. Namun agar gulungan kundalini yang berada di perineum membuka lebih banyak lagi,  diperlukan latihan dengan mengucapkan afirmasi membuka gulungan kundalini. Teknik ini amat mudah dan efektif. Dengan terbukanya lebih banyak gulungan kundalini, energi kundalini yang naik melalui jalur sushumna akan lebih banyak. Semakin banyak gulungan kundalini yang terbuka, semakin baik dan bagus kualitas energi kundalini.
Sehat dengan reiki kundalini mengharapkan bagi Anda yang serius untuk melatih membuka gulungan kundalini, ada banyak buku panduan yang bisa dijadikan rujukan. Kebangkitan kundalini yang diikuti membukanya gulungan kundalini akan menimbulkan sensasi yang terkadang nyaman dan tidak nyaman. Istilah tidak nyaman boleh disebut dengan kundalini syndrome. Namun janganlah takut menghadapi rasa tidak nyaman saat berlatih mengaktifkan kundalini.
Pada permulaan pembangkitan, energi kundalini masih berwarna merah keemasan. Setelah banyak terbukanya gulungan kundalini, energi kundalini akan berubah secara berurutan mulai dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, putih dan emas sampai akhirnya tidak punya warna, Wow?
Nah berikut ini Anda bisa melatih membuka gulungan kundalini dengan teknik mengucapkan afirmasi. Posisi terserah Anda. Anda sebaiknya duduk bersila di lantai atau duduk di kursi tanpa sandaran. Setelah kundalini Anda aktif dengan sendirinya, Anda bebas mengucapkan afirmasi ini di sembarang kegiatan dan suasana.
Afirmasi 1 : Saya niat membuka gulungan kundalini lebih banyak lagi. Gulungan kundalini akan terbuka secara otomatis. Per satu detik 999 biliun gulungan kundalini akan terbuka secara terus menerus dan untuk selamanya.
Biarkan selama 1 menit lalu lanjutkan
Afirmasi 2 : Saya niat menaikkan energi kundalini. Energi kundalini naik melalui jalur sushumna melewati chakra mooladhara, chakra swadisthan, chakra nabhi, chakra solar flexsus, chakra annahata, chakra visuddhi, chakra ajna, chakra sahasrara. Dan energi kundalini menyembur amat derasnya keluar melalui chakra sahasrara secara terus menerus.
Biarkan selama 1 menit lalu lanjutkan
Afirmasi 3 : Saya niat memutar chakra sahasrara berlawanan dengan arah putaran jarum jam secara terus menerus dengan kecepatan putaran yang telah dipercepat hingga 999 biliun kali lipat dari kecepatan putaran semula.
Ilustrasi saat energi kundalini bangkit membuka gulungannya lalu merayap naik lewat jalur sushumna.
Apabila Anda melakukan afirmasi ketiga tadi setiap hari secara rutin minimal 1 kali diharapkan kualitas energi kundalini akan lebih baik dari sebelumnya. Anda boleh juga mengucapkan ketiga afirmasi tadi lebih dari 1 kali. Untuk berlatih ini memang tidak ada batasan. Semakin Anda rajin berlatih semakin baik pula hasilnya.
Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam latihan, alangkah baiknya ke – 3 airmasi tadi Anda hapalkan di luar kepala. Di saat berkendara, santai di kantor atau rumah, menjelang tidur di malam hari, Anda bisa mengucapkan affirmasi itu dengan penuh penghayatan. Untuk hasil maksimal, jika saat Anda meditasi dalam kondisi gelombang otak Anda masuk ke delta stage atau teta stage, afirmasi tadi akan mudah terpogram ke dalam alam bawah sadar.
Suatu saat di luar latihan, tanpa diniatkan getaran energi kundalini akan bekerja dengan sendirinya. Tiba-tiba getaran energi kundalini akan menyebar ke seluruh bagian tubuh Anda. Itu tandanya energi kundalini sedang bekerja membersihkan seluruh energi negatif dalam tubuh. Termasuk di sini energi penyakit yang menghinggapi organ tubuh. Terkadang energi itu akan lenyap tiba-tiba dan untuk beberapa hari tidak menampakkan sensasi lagi pada tubuh phisik ini.
Untuk hasil maksimal silahkan baca buku petunjuk latihan itu. Demikianlah Suhandono Wijoyokusumo dan Gusti Swastika memaparkan dalam bukunya Kundalini Cara Mudah dan Praktis Membangkitkan Kundalini Anda.

Makna dari Surat QS Maryam

Sahabat berikut ada dua Surat di dalam Al Quran yg sangat menarik sekali bagi saya pribadi , yg saat ini masih terus banyak belajar....mohon utk yg Fanatik tidak menanggapi catatan ini secara berlebih lebihan...Secara pribadi saya lebih tertarik dengan Pemahaman para Sufi dan ilmu Tasawuf...utk itu biarkan saya Berproses, berkembang mencari Cahaya ilahi sbg bekal perjalanan saya menuju kehidupan
yang lebih baik lagi..yaitu hidup didlm cahaya ilahi bukan hidup di dlm ilusi spt kita hidup saat ini.....seperti yg tertulis dlm surat berikut,

QS. Maryam (19): 38
Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami (Allah). Tetapi orang-orang yang zalim pada hari ini (di dunia) berada dalam kesesatan(kegelapan) yang nyata (karena keterbatasan penglihatan dan pendengarannya).
------------------------------------------------------------------------
Apakah ayat ini menjelaskan Tentang perbedaan orang2 yg sdh mencapai Pencerahan..? dan yg belum mencapai Pencerahan ! Seperti Ma'rifatullah....yaitu mencapai kesadaran Jiwa dan kesadaran Ron...dimana jiwa dan Ruh memiliki kesadaran yg lebih tinggi, lebih tajam, lebih terang dari kesadran fisik tubuh ini.
-------------------------------------00

QS. Al Baqarah (2): 28
Mengapa kamu mengingkari Allah, padahal kamu tadinya mati , lalu Allah menghidupkan kamu , kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali , kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan ?
-------------------------------------------------------------------------
APAKAH AYAT INI ADA KAIT-ANNYA DGN REINKARNASI....?? Entahlahh....? tentu hanya orang2 yg telah mengalaminya saja yg bisa menjawabnya...hanya orang2 yg sdh mencapai kesadaran Jiwa yg mampu melihat ini.... dan utk itu kenapa kita tidak belajar utk mengalaminya ? ..... Waulahualam....
Okelah kawan, saya ucapkan selamat belajar dan teruslah belajar mencari ilmu yg benar, salam _/\_

Minggu, 07 Oktober 2012

Titik Ba

Copas dari blog Agus. A S  "Essence " http://perluasancinta.blogspot.com/search/label/Titik/Ba


Dari buku: Titik Ba
Karangan: Ahmad Thoha Faz
Halaman 416 - 418

-----------------------------------------
“Misalkan air laut dijadikan tinta, dan daun-daun diseluruh jagat ini dijadikan kertasnya, masih belum cukup untuk menuliskan ilmu Allah, Ki Sanak,” ujar Sunan Bonang.
“Tidak sebanyak itu yang saya mau tuntut. Saya cuma perlu satu titik. Di titik Ba itu, Kanjeng,” balas Raden Mas Syahid yang kelak bergelar Sunan Kalijaga.
(Dari film: Sunan Kalijaga 1984)
Ditulis pada sampul depan dari buku ini
“Aku adalah titik di bawah huruf ba pada basmalah”
Ali bin Abu Thalib (Halaman 415)
Tanda titik berjumlah satu, antara lain, diberikan pada dua huruf: ba dan nun. Bentuk kedua huruf tersebut sama persis, kecuali mengenai letak titik. Bila titik disimpan diatas, maka disebut nun. Bila disimpan dibawah, maka disebut ba.
Konon, menurut riwayat, sebelum diri dan dunia diciptakan, lebih dahulu Allah menciptakan kalam (QS.68:1-6). Kalam tersebut diperintahkan oleh-Nya untuk mencatat semua khazanah-Nya. Titik nun melambangkan khazanah yang tersembunyi itu (kuntu kanzan makhfiyyan).
Titik nun lalu diturunkan sehingga ia tidak lagi dilingkupi oleh sebuah wadah. Ketika itu nun berubah menjadi ba, dengan tujuan agar khazanah-Nya dapat dikenal (wa ahbabtu an u’rafu). Setelah itu, Allah menciptakan makhluk (fa khalaqtu al-khalq), sehingga Dia dapat dikenali secara aktual-sebab sudah terdapat pihak lain yang siap sedia secara kodrati mengenalnya.
Ketiga proses diatas dirangkum dalam hadis qudsi sebagai berikut,

“Kuntu kanzan makhfiyyan wa ahbabtu an u’rafu fa khalaqtu al-khalq li ya’rifuni”
(Aku ialah khazanah yang tersembunyi, dan Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk untuk mengenal-Ku).

Semua itu, menandakan bahwa Allah berkenan bahkan senang apabila tindakan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya dikenal dan dikenang oleh manusia. Jadi, titik ba pada pangkal basmalah merupakan pintu gerbang dan sekaligus gudang yang menyimpan segala khazanah-Nya.
Dala ilmu tafsir disebutkan bahwa Al-Quran mengandung lima tema, yaitu:

1) tauhid,
2) janji dan ancaman,
3) ibadah,
4) jalan menuju kebahagiaan, dan
5) kisah-kisah umat terdahulu.
Kelima tema itu diringkas dalam surah yang pertama: Al-Fatihah. Maka, para ahi tafsir mengatakan Al-Fatihah adalah ringkasan Al-Quran yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.236 ayat. Atau disebut al-wafiyah yang berarti “yang mencakup”.
Selanjutnya, sebagian ahli tafsir menjelaskan tema-tema Surah Al-Fatihah diringkas lagi kedalam ayat yang pertama: basmalah. Dan basmalah diringkas kedalam huruf yang pertama: ba. Sejalan dengan itu, huruf ba mempunyai kepanjangan bi kana ma kana, wa bi yakunu ma yakunu, fa wujud al-awalimi bi yang artinya: “Dengan Aku ada apa saja yang telah ada, dan dengan Aku sedang/akan ada apa saja yang sedang/akan ada, maka keberadaan semua alam ada dengan-Ku.” (Mungkin karena merasa kurang tuntas, sebagian ahli tafsir meneruskan lagi bahwa huruf ba pangkal basmalah itu dapat diringkas kedalam titik dibawah huruf ba atau “titik ba”).
Selain merupakan pankal dari pangkal Al-Quran, huruf ba adalah huruf yang paling awal diucapkan oleh manusia keturunan Adam. Ketika manusia diperintahkan bersaksi oleh Allah, “Bukankah Aku adalah Tuhan kalian ?” Maka mereka menjawab serempak, “Bala” (Ya kami bersaksi) (QS.7:171).
Nb: Catatan saya yang ringkas ini tentu saja serasa sangat kurang.
Untuk selengkapnya dapat dibaca diperpustakaan atau membelinya ditoko buku
:)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Manusia,” kata Jalaluddin Rumi. “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja:
- manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi, tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, “Aku menyembah Tuhan”, maupun, “Aku tidak menyembah Tuhan”. Ia telah melewati tahapan ketiga.”
(Dari kumpulan ucapan dan ajaran Jalaluddin Rumi yang berjudul Fihi Ma Fihi (Didalamnya adalah apa yang ada didalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi)
Untuk mendekati jalan sufi, sang salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian – gagasan-gagasan kaku dan prasangka. Kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajari bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika. Ajaran ini telah melemahkannya.
“Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain ini, maka engkau tidak logis”

* Catatan yang juga hanya sedikit ini saya ambil dari buku Mahkota Sufi halaman 158 – Idris Shah.

Banyak pembaca Alquran, Namun Dikutuk Alquran

  Copas dari Blog. Agus As




Dari buku: Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya
Aforisme-Aforisme Sufistik Jalaluddin Rumi
halaman 133 “Banyak pembaca Alquran, Namun Dikutuk Alquran”
Diterbitkan oleh Pustaka Hidayah
Cetakan pertama, Rajab 1421/Oktober 2000

Ibn Muqri membaca Alquran dengan bacaan yang benar. Dia membaca bentuk Alquran dengan benar, tetapi dia tidak mendapatkan petunjuk maknanya. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa ketika dia sampai pada makna, dia menolaknya. Dia membaca tanpa pengetahuan. Dia “buta”. Dia seperti manusia yang memegang musang dengan tangannya. Apabila ditawari yang lebih baik, dia akan menolaknya. Kita kemudian sadar dia tidak tahu apa-apa tentang musang. Ketika seseorang mengatakan kepadanya bahwa apa yang dia miliki adalah musang, dia memegang binatang itu. Atau seperti seorang anak yang bermain dengan buah kenari: apabila ditawari kenari minyak atau kenari isi, mereka akan menolaknya. Karena bagi mereka kenari adalah sesuatu yang berputar dan membuat suara bising, dan dia akan menolak benda lain yang tidak berputar dan membuat suara bising.
Gudang harta karun Tuhan sangat luas dan tak terbatas, begitu pula pengetahuan Tuhan. Apabila seorang manusia membaca satu Alquran dengan pengetahuannya, kenapa mesti menolak Alquran yang lainnya ?
Suatu saat aku pernah berkata kepada seorang pembaca Alquran, “Tuhan telah berfirman dalam Alquran, Katakan, apabila lautan adalah tinta untuk menulis kata-kata Tuhan, sesungguhnya laut tak akan cukup untuk menuliskan kata-kata Tuhan (QS.18:109). Sekarang dengan lima puluh dram (1/8 ons) tinta orang mungkin mampu untuk menuliskan seluruh isi Alquran. Alquran hanyalah sekedar perlambang dari pengetahuan Tuhan; Alquran bukan keseluruhan pengetahuan-Nya. Apabila tukang obat meletakkan sejumput obat pada selembar kertas, akankah engkau demikian bodoh mengatakan seluruh dari toko obat berada dikertas itu ? Pada zaman Musa, Isa, dan lainnya, Alquran telah hadir. Yakni, firman Tuhan telah hadir, tentu saja tidak dalam bahasa Arab. “Aku berharap bahwa orang-orang yang membaca Alquran akan memahaminya. Tetapi ketika aku sadar bahwa hal itu tidak berdampak apa-apa, aku meninggalkannya.”
Diriwayatkan bahwa sewaktu Nabi hidup, sahabat yang hapal sebuah juz atau setengah juz Alquran dianggap luar biasa dan menjadi sasaran kekaguman. Hal ini terjadi karena mereka “menelan” Alquran. Sekarang siapa pun yang mampu menelan satu atau dua pon roti dapat dikatakan luar biasa, tetapi orang yang sekedar meletakkan roti didalam mulutnya lalu menyemburkannya tanpa mengunyah, dia mampu “menelan” ribuan ton roti. Hal ini sesuai dengan sebuah ungkapan yang berbunyi, “Banyak pembaca Alquran, namun dikutuk Alquran.” Orang seperti itu adalah orang yang tidak sadar tentang makna sejati Alquran.

3 TINGKAT KEYAKINAN


Oleh: Si Pincang

Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :

1. ‘Ilmul Yaqin
2. ‘Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)

1. ‘Ilmul Yaqin

Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori belaka.

Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang-orang tanpa melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya sendiri.
Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain? Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.
Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku bom bunuh diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang dikerjakan masih sulit untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia dari berbuat keji dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut (29) : 45)
Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S Al Maa'un (107) : 4-5)
Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.

2. ‘Ainul Yaqin


Tahapan ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.

Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang sedang “mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku, bertanya kepada orang-orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari berbuat keji dan mungkar.
Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas dulu. Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar haqqul yaqin.
Mereka yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat rugi perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S Al Kahfi (18) : 103-104)

3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)


Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti (isbat).

Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat berarti ia mengenal Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) : 282)
Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho… bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan, jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau
ulama sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya “SD” tapi cari juga ulama yang levelnya “SMP” , “SMA”, “S1” dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau
kita hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.
Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi petunjuk Tuhan –tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (Q.S Al An'aam (6) : 117)

Semoga manfaat.

Copas dari Blog. Agus As  http://perluasancinta.blogspot.com/search/label/3%20Tingkat%20Keyakinan

Sabtu, 06 Oktober 2012

AKU DAN KAMU SAMA


Aku terlahir dari keluarga yg sederhana dan cukup.... Hidupku biasa-biasa saja, terkadang Enak penuh berkah dilain waktu terkadang juga sulit, iyahh…Ada bahagia, ada duka, ada kepedihan, ada kegagalan...dan juga ada kegembiraan, silih berganti ….ada pula ragu dan bimbang. Ada canda dan Tawa…Semuanya mengalir begitu saja semua aku lalui dengan Rasa senang, gembira, sabar penuh rasa syukur.

Begitu banyak peristiwa hidup
yang kualami,…Setiap waktu setiap saat silih berganti hari demi hari didalam berbagai kesibukan aktifitas ini, aku tetap menjalin komunikasi dengan siapa saja…Bila saatnya tiba perutku lapar kusantap pula hidangan yang ada, walaupun apa adanya tetap terasa nikmatnya…bila keuangan mencukupi aku dan keluarga ku keluar berlibur...jalan2 Bersantai ria melepas kepenatan hidup ini sambil menghirup sejuknya udara alam semesta raya ini…

Diriku sama seperti kamu, kita manusia biasa seperti yg lainnya...yg mengarungi kehidupannya, mencari jati dirinya, belajar dan berkarya..untuk memenuhi kebutuhan akan hidup didunia ini.
Dilain waktu dan kesempatan aku pun akan sangat serius apabila ada masalah. Namun, saat ke-Haru-an dan kesedihan menghampiri…tanpa kusadari aku pun dapat merintih dan menangis …namun sbg manusia biasa Aku tetap mempunyai emosi dan amarah….Tetapi semua akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu, saat aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah dalam tidurku…seperti yang lainnya aku juga punya impian, maka aku terus bekerja dan berusaha mencari nafkah utk Istriku dan anak2ku sembari kutatap keatas langit biru menggantungkan cita-citaku setinggi langit….bila kesunyian malam datang menjelang dalam keheningan kalbuku, aku berintrospeksi diri…diringi doa kepada sang Illahi…Memohon petunjuk, Rahmat dan HidayahNya dalam pencariani diriku yg sesungguhnya....memohon kesadaran Jiwa utk meraih RidhaNya......amin...amin...amin yarobbalalamin..

Jumat, 05 Oktober 2012

TASAWUF


oleh Harun Nasution

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.

ASAL KATA SUFI

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

ASAL-USUL TASAWUF

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."

Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

PENGALAMAN SUFI

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."

Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."

Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."

Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:

Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174