Apabila
seseorang hamba Allah telah dibukakan jalan untuk mengetahui Allah,
maka apakah sesuatu yang harus dihadapinya sebagai akidah dan pegangan ?
Al Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan tentang hal ini dalam kalam hikmahnya:
“Apabila
Allah membukakan bagi engkau jalan untuk mengenal-Nya, maka janganlah
engkau ambil peduli tentang sedikit amalan engkau, karena Allah swt
tidak membukakan jalan tadi bagi engkau selain Ia nya Allah berkehendak
memperkenalkan (Zat-Nya atau sifat-sifat-Nya) kepada engkau.
Tidakkah
engkau ketahui bahwa, memperkenalkan itu adalah pemberian Allah atas
engkau, sedangkan amal-amal yang engkau kerjakan engkau berikan
amal-amal itu untuk Allah dan dimanakah fungsi pemberian engkau kepada
Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas
engkau”.
Kalam hikmah ini mengandung pengertian yang dalam sekali tentang tujuan kita selaku hamba Allah, dalam perjalanan kepada Allah.
Ketahuilah,
bahwa Allah membukakan jalan ma’rifat untuk dapat kita kenal Dia
(Allah). Adalah merupakan kehendak-Nya, semoga dengan karunia-Nya dan
termakan pengertian asma-Nya dalam hati dan perasaan tubuh jasmaniah
kita. Terbuka jalan ini adalah lebih besar nilainya dari pada amal
ibadah yang banyak tetapi sunyi atau sedikit sekali ma’rifat kita kepada
Allah. Bandingkanlah antara nikmat yang maha besar ini dengan amal
ibadah yang kita kerjakan. Sekalian amal ibadah yang kita amalkan, kita
persembahkan kepada Allah, dan dengan kurnia-Nya Allah memberikan pula
kepada kita nikmat ma’rifat dimana kita kenal (mengetahui kepada Allah
dalam arti yang luas dan mendalam (sesungguhnya).
Hamba
Allah yang soleh mempunyai pendirian, bahwa pemberian sihamba kepada
majikan adalah dianggap kecil, apabila dibandingkan dengan pemberian
majikan kepada hamba-Nya, sebab pemberian si hamba pada hakikatnya tidak
kembali kepada tuannya (majikannya), tetapi kembali kepada si hamba
juga. Kesimpulannya, bahwa kita selaku hamba Allah biarlah amal ibadah
kita sedikit, asal saja ma’rifat kita kepada Allah bersemayam di dalam
diri kita, ini adalah lebih bagus dari pada amal ibadah yang banyak
tetapi hati kita lalai kepada Allah, tidak sejalan antara ibadah yang
kita kerjakan dengan hati kita sendiri, sebab itu maka Allah mencela dan
memandang rendah orang-orang yang mengerjakan sembahyang tetapi hatinya
tidak kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Maa’un zuz
30, ayat 4, 5 dan 6 sbb:
“Fawailul lilmushalliinal ladziina hum’an shalaatihim saahuunaalladziina hum yuraa uuna”
“Sebab
itu celakalah orang-orang yang sembahyang dimana mereka lalai dari
sembahyangnya, mereka mengerjakan kebaikan supaya dilihat orang”
Apabila
kita diberikan oleh Allah sebagian nikmat ma’rifat kepada-Nya, maka
hendaklah selalu kita hadapkan hati kita kepada Allah dalam arti yang
luas, sebab Dia lah yang Maha berkehendak, Maha berkuasa, Maha pengasih,
Maha penyayang dan lain-lain sebagainya dari sifat-sifat Allah yang
Maha Agung dan tidak terhingga jumlahnya.
Dengan demikia
Allah akan menambah hampir kita kepada-Nya dan mementingkan kita dalam
segala hal yang kita hadapi. Yaitu terbukanya hatinya untuk dapat
mengenal, mengetahui (ma’rifat) kepada Allah ta’ala.
Oleh karena
itu maka hamba-hamba Allah yang arif kepada-Nya, kadang-kadang kita
lihat amal lahiriah mereka sedikit, tetapi rupanya yang sedikit
sedangkan nilainya jauh lebih besar disisi Allah swt.
“Illaahii anta maqshuudii waridhaaka mathlubbii”
“Wahai Tuhanku! Engkaulah yang aku tuju dan keridhaan Engkaulah yang aku cari”.
Mudah-mudahan
Allah swt, memberikan kepada kita ni’mat ma’rifat kepada-Nya dan
terbuka hati kita dalam mengenal-Nya sehingga seluruh diri kita lahir
dan batin selalu ingat kepada-Nya, Amien.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
AKIBAT BERPEGANG KEPADA AMAL
‘’Min’alaamaatil i’timaadi alal’amadi nuqshahnur rojaai’ indawujuudiz zalali’’
“Sebagian tanda berpegang keatas amal, yaitu:
Kurang harapannya kepada Allah ketika adanya kesalahan-kesalahan”.
Ini adalah kalam hikmah pertama kali yang dikemukakan oleh Imam Ibnu At Thaillah Askandary.
Pengertian dari kalam hikmah pertama ini sbb:
1. Bahwa kita umat manusia sebagai makhluk Allah swt, ada 3 tingkat:
a.
Tingkatan Al-Ibaat
Orang-orang
yang dalam tingkatan ini, mereka mengerjakan sembahyang, puasa dan
lain-lainnya dari ajaran-ajaran Agama, juga apabila mereka menjauhkan
larangan-larangan Allah, maksud mereka dengan melaksanakan amal ibadat
itu semoga dapat masuk surga, berbahagia didalamnya dan terlepas dari
azab siksaan neraka, atau maksud mereka ialah untuk kebahagiaan duniawi
dan ukrawi dan diselamatkan oleh Allah swt dengan sebab amal ibadatnya
itu dari macam-macam malapetaka, baik didunia maupun diakhirat.
b.
Tingkatan Al-Muriiduuna
Orang-orang
yang dalam tingkatan ini mereka berbuat taat pada ajaran-ajaran Agama,
tidak lain maksud mereka terkecuali untuk bagaimana sampai kepada Allah,
bagaimana agar terbuka segala sesuatu yang menutup hati mereka, semoga
kiranya hati mereka dilimpahkan rahasia-rahasia halus dan yang baik-baik
oleh Allah swt.
c.
Tingkatan Al-Aarifuuna
Hamba-hamba
Allah yang dalam tingkatan ini meskipun mereka beramal ibadat begitu
banyak tetapi sedikitpun mereka tidak melihat bahwa mereka mengerjakan
ibadat itu untuk maksud-maksud diatas, tidak terbayang didalam hati
mereka bahwa mereka beramal, tetapi hati mereka selalu tertuju bahwa
Allah swt yang berbuat segala sesuatu pada hakekatnya, mereka tenggelam
dalam lautan ridha qadar Ilahi dan mereka bergantung pada tali qadha
Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagaimana firman Allah swt dalam
Al-Quran surat As-Shaffaat zuz 23 ayat 96;
“Wallaahu khalaqakum wamaata’maluuna”
‘’Dan sesungguhnya Tuhan yang telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu’’.
Dan firman Allah dalam surat Al-Qashash zuz 20 ayat 68
“Warobbuka yakhluqu maa yasyaa uwa yaht-a-ru maa kaana lahumul khiarotu subhaanallaahi wa ta’alaa’ammaa yusyrikuuna”
‘’Dan
Tuhan engkau menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilihNya, mereka
tidak dapat memilih. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka sekutukan (dengan Tuhan itu)’’.
2. Menurut kalam
hikmah diatas bahwa yang dimaksud dengan ‘’tanda’’ yang kita bahas
disini adalah buat tanda tingkat pertama dan kedua maksudnya bahwa
tingkatan pertama ‘’Al-Ibaad’’ dan tingkatan yang kedua
‘’Al-Muriiduuna’’. Menurut kacamata ilmu tasawuf; termasuk belum baik
apabila dibandingkan dengan tingkatan ketiga, sebab apabila kita masih
dalam tingkatan pertama dan kedua maka akibatnya ialah sbb:
a.
Pada tingkat pertama apabila seseorang itu mengerjakan perbuatan
maksiat dalam arti yang luas, seperti tidak menjalankan perintah Allah
swt, maka mengakibatkan kurang harapannya kepada Allah atas maksudnya
yaitu: bahagia disurga dan selamat dari azab dan siksaan neraka,
harapannya kepada Allah swt kuat dan bertambah apabila ia beramal,
tetapi apabila tidak maka harapannya yang tadi akan turun dan berkurang.
b.
Demikian pula pada tingkatan Al-Muriiduuna, dengan amal ibadat maka ia
gembira, karena itu maka ibadatnyalah yang menjadi sebab menyampaikan
harapan-harapannya tetapi apabila ibadatnya berkurang maka akan
berkurang pula harapannya kepada Allah swt. Inilah akibatnya apabila
kita berpegang kepada amal tetapi tidak berpegang kepada Allah.
Adapun
tingkatan ketiga ini adalah tingkatan yang mulia disisi Allah swt.
Sebab apabila kita telah sampai pada tingkatan ini, kita akan fana dan
kita akan tenggelam didalam qadar, dan qadha Allah. Sama saja pada kita
apakah kita mengerjakan taat maka tidak terlihat oleh kita bahwa itu
adalah karena daya dan kekuatan kita ataukah kita pernah meninggalkan
ajaran-ajaran Agama, namun hati kita selalu mengharapkan keridhaannya
kepada Allah, apalagi karena ihsan yang kita kerjakan dan tidak pula
berkurang taqwa kita kepadaNya disebabkan kesalahan yang kita lakukan.
3. Karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk sampai ketingkatan ketiga ini ialah:
Dengan
‘’MUJAAHADAH’’
yakni kita harus memerangi hawa nafsu kita dengan latihan-latihan
seperti yang telah diatur oleh ilmu Tasawuf dan kita harus banyak ingat
kepada Allah dalam segala gerak-gerik kita seperti yang diatur oleh ilmu
tersebut, maka dengan latihan-latihan memerangi hawa nafsu dan selalu
mengingat Allah swt kita akan sampai ketingkatan Al-Aarifuuna.
ditulis oleh
Agus As pada 26 Juli 2012 pukul 1:53 ·
------------------------------------------------------------
Tulisan ini saya ambil dari buku ;
Hakikat Hikmah Tauhid Dan Tasawuf (Al Hikam)
Oleh: Al Imam Ibnu Athaillah Askandary
Syarah Oleh: Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly