Jumat, 14 September 2012

Hakikat Hikmah Tauhid Dan Tasawuf (Al Hikam) TERBUKA JALAN MA’RIFAT KEPADA ALLAH



Apabila seseorang hamba Allah telah dibukakan jalan untuk mengetahui Allah, maka apakah sesuatu yang harus dihadapinya sebagai akidah dan pegangan ?

Al Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan tentang hal ini dalam kalam hikmahnya:

“Apabila Allah membukakan bagi engkau jalan untuk mengenal-Nya, maka janganlah engkau ambil peduli tentang sedikit amalan engkau, karena Allah swt tidak membukakan jalan tadi bagi engkau selain Ia nya Allah berkehendak memperkenalkan (Zat-Nya atau sifat-sifat-Nya) kepada engkau.
Tidakkah engkau ketahui bahwa, memperkenalkan itu adalah pemberian Allah atas engkau, sedangkan amal-amal yang engkau kerjakan engkau berikan amal-amal itu untuk Allah dan dimanakah fungsi pemberian engkau kepada Allah apabila dibandingkan  pada apa yang didatangkan Allah atas engkau”.

Kalam hikmah ini mengandung pengertian yang dalam sekali tentang tujuan kita selaku hamba Allah, dalam perjalanan kepada Allah.
Ketahuilah, bahwa Allah membukakan jalan ma’rifat untuk dapat kita kenal Dia (Allah). Adalah merupakan kehendak-Nya, semoga dengan karunia-Nya dan termakan pengertian asma-Nya dalam hati dan perasaan tubuh jasmaniah kita. Terbuka jalan ini adalah lebih besar nilainya dari pada amal ibadah yang banyak tetapi sunyi atau sedikit sekali ma’rifat kita kepada Allah. Bandingkanlah antara nikmat yang maha besar ini dengan amal ibadah yang kita kerjakan. Sekalian amal ibadah yang kita amalkan, kita persembahkan kepada Allah, dan dengan kurnia-Nya Allah memberikan pula kepada kita nikmat ma’rifat dimana kita kenal (mengetahui kepada Allah dalam arti yang luas dan mendalam (sesungguhnya).

Hamba Allah yang soleh mempunyai pendirian, bahwa pemberian sihamba kepada majikan adalah dianggap kecil, apabila dibandingkan dengan pemberian majikan kepada hamba-Nya, sebab pemberian si hamba pada hakikatnya tidak kembali kepada tuannya (majikannya), tetapi kembali kepada si hamba juga. Kesimpulannya, bahwa kita selaku hamba Allah biarlah amal ibadah kita sedikit, asal saja ma’rifat kita kepada Allah bersemayam di dalam diri kita, ini adalah lebih bagus dari pada amal ibadah yang banyak tetapi hati kita lalai kepada Allah, tidak sejalan antara ibadah yang kita kerjakan dengan hati kita sendiri, sebab itu maka Allah mencela dan memandang rendah orang-orang yang mengerjakan sembahyang tetapi hatinya tidak kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Maa’un zuz 30, ayat 4, 5 dan 6 sbb:

“Fawailul lilmushalliinal ladziina hum’an shalaatihim saahuunaalladziina hum yuraa uuna”
“Sebab itu celakalah orang-orang yang sembahyang dimana mereka lalai dari sembahyangnya, mereka mengerjakan kebaikan supaya dilihat orang”

Apabila kita diberikan oleh Allah sebagian nikmat ma’rifat kepada-Nya, maka hendaklah selalu kita hadapkan hati kita kepada Allah dalam arti yang luas, sebab Dia lah yang Maha berkehendak, Maha berkuasa, Maha pengasih, Maha penyayang dan lain-lain sebagainya dari sifat-sifat Allah yang Maha Agung dan tidak terhingga jumlahnya.

Dengan demikia Allah akan menambah hampir kita kepada-Nya dan mementingkan kita dalam segala hal yang kita hadapi. Yaitu terbukanya hatinya untuk dapat mengenal, mengetahui (ma’rifat) kepada Allah ta’ala.
Oleh karena itu maka hamba-hamba Allah yang arif kepada-Nya, kadang-kadang kita lihat amal lahiriah mereka sedikit, tetapi rupanya yang sedikit sedangkan nilainya jauh lebih besar disisi Allah swt.
“Illaahii anta maqshuudii waridhaaka mathlubbii”
“Wahai Tuhanku! Engkaulah yang aku tuju dan keridhaan Engkaulah yang aku cari”.

Mudah-mudahan Allah swt, memberikan kepada kita ni’mat ma’rifat kepada-Nya dan terbuka hati kita dalam mengenal-Nya sehingga seluruh diri kita lahir dan batin selalu ingat kepada-Nya, Amien.
----------------------------------------------------------------------------------------------------


AKIBAT BERPEGANG KEPADA AMAL


‘’Min’alaamaatil i’timaadi alal’amadi nuqshahnur rojaai’ indawujuudiz zalali’’

“Sebagian tanda berpegang keatas amal, yaitu:
Kurang harapannya kepada Allah ketika adanya kesalahan-kesalahan”.

Ini adalah kalam hikmah pertama kali yang dikemukakan oleh Imam Ibnu At Thaillah Askandary.
Pengertian dari kalam hikmah pertama ini sbb:

1.   Bahwa kita umat manusia sebagai makhluk Allah swt, ada 3 tingkat:

a.  Tingkatan Al-Ibaat

Orang-orang yang dalam tingkatan ini, mereka mengerjakan sembahyang, puasa dan lain-lainnya dari ajaran-ajaran Agama, juga apabila mereka menjauhkan larangan-larangan Allah, maksud mereka dengan melaksanakan amal ibadat itu semoga dapat masuk surga, berbahagia didalamnya dan terlepas dari azab siksaan neraka, atau maksud mereka ialah untuk kebahagiaan duniawi dan ukrawi dan diselamatkan oleh Allah swt dengan sebab amal ibadatnya itu dari macam-macam malapetaka, baik didunia maupun diakhirat.

b.  Tingkatan Al-Muriiduuna

Orang-orang yang dalam tingkatan ini mereka berbuat taat pada ajaran-ajaran Agama, tidak lain maksud mereka terkecuali untuk bagaimana sampai kepada Allah, bagaimana agar terbuka segala sesuatu yang menutup hati mereka, semoga kiranya hati mereka dilimpahkan rahasia-rahasia halus dan yang baik-baik oleh Allah swt.

c.  Tingkatan Al-Aarifuuna

Hamba-hamba Allah yang dalam tingkatan ini meskipun mereka beramal ibadat begitu banyak tetapi sedikitpun mereka tidak melihat bahwa mereka mengerjakan ibadat itu untuk maksud-maksud diatas, tidak terbayang didalam hati mereka bahwa mereka beramal, tetapi hati mereka selalu tertuju bahwa Allah swt yang berbuat segala sesuatu pada hakekatnya, mereka tenggelam dalam lautan ridha qadar Ilahi dan mereka bergantung pada tali qadha Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Quran surat As-Shaffaat zuz 23 ayat 96;

“Wallaahu khalaqakum wamaata’maluuna”
‘’Dan sesungguhnya Tuhan yang telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu’’.

Dan firman Allah dalam surat Al-Qashash zuz 20 ayat 68

“Warobbuka yakhluqu maa yasyaa uwa yaht-a-ru maa kaana lahumul khiarotu subhaanallaahi wa ta’alaa’ammaa yusyrikuuna”
‘’Dan Tuhan engkau menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilihNya, mereka tidak dapat memilih. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan (dengan Tuhan itu)’’.

2.   Menurut kalam hikmah diatas bahwa yang dimaksud dengan ‘’tanda’’ yang kita bahas disini adalah buat tanda tingkat pertama dan kedua maksudnya bahwa tingkatan pertama ‘’Al-Ibaad’’ dan tingkatan yang kedua ‘’Al-Muriiduuna’’. Menurut kacamata ilmu tasawuf; termasuk belum baik apabila dibandingkan dengan tingkatan ketiga, sebab apabila kita masih dalam tingkatan pertama dan kedua maka akibatnya ialah sbb:

a.   Pada tingkat pertama apabila seseorang itu mengerjakan perbuatan maksiat dalam arti yang luas, seperti tidak menjalankan perintah Allah swt, maka mengakibatkan kurang harapannya kepada Allah atas maksudnya yaitu: bahagia disurga dan selamat dari azab dan siksaan neraka, harapannya kepada Allah swt kuat dan bertambah apabila ia beramal, tetapi apabila tidak maka harapannya yang tadi akan turun dan berkurang.

b.   Demikian pula pada tingkatan Al-Muriiduuna, dengan amal ibadat maka ia gembira, karena itu maka ibadatnyalah yang menjadi sebab menyampaikan harapan-harapannya tetapi apabila ibadatnya berkurang maka akan berkurang pula harapannya kepada Allah swt. Inilah akibatnya apabila kita berpegang kepada amal tetapi tidak berpegang kepada Allah.

Adapun tingkatan ketiga ini adalah tingkatan yang mulia disisi Allah swt. Sebab apabila kita telah sampai pada tingkatan ini, kita akan fana dan kita akan tenggelam didalam qadar, dan qadha Allah. Sama saja pada kita apakah kita mengerjakan taat maka tidak terlihat oleh kita bahwa itu adalah karena daya dan kekuatan kita ataukah kita pernah meninggalkan ajaran-ajaran Agama, namun hati kita selalu mengharapkan keridhaannya kepada Allah, apalagi karena ihsan yang kita kerjakan dan tidak pula berkurang taqwa kita kepadaNya disebabkan kesalahan yang kita lakukan.

3.   Karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk sampai ketingkatan ketiga ini ialah:
Dengan ‘’MUJAAHADAH’’ yakni kita harus memerangi hawa nafsu kita dengan latihan-latihan seperti yang telah diatur oleh ilmu Tasawuf dan kita harus banyak ingat kepada Allah dalam segala gerak-gerik kita seperti yang diatur oleh ilmu tersebut, maka dengan latihan-latihan memerangi hawa nafsu dan selalu mengingat Allah swt kita akan sampai ketingkatan Al-Aarifuuna.


ditulis  oleh Agus As pada 26 Juli 2012 pukul 1:53 ·
------------------------------------------------------------
Tulisan ini saya ambil dari buku ;
Hakikat Hikmah Tauhid Dan Tasawuf (Al Hikam)
Oleh:  Al Imam Ibnu Athaillah Askandary
Syarah Oleh: Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly

Tidak ada komentar: